Saturday, January 15, 2011

SEAtrip Day 13: Laos-Vietnam

Perjalanan lanjut lagi. Kalau kabar yang saya dengar pengemudi bisnya sering ugal-ugalan, kali ini saya sepertinya mendapat pengemudi yang berhati-hati. Perjalanan tidak terasa membahayakan. Kami berhenti lagi entah di mana sekitar jam 2 pagi. Bis baru jalan lagi jam 5 pagi. Rupanya 4 jam tersebut dimanfaatkan untuk istirahat bagi pengemudi.

Perjalanan makin lama makin menanjak. Rupanya kami memasuki wilayah pegunungan. Udara makin dingin, kabut perlahan semakin tebal. Hinggap pada suatu titik, jarak pandang hanya sekitar beberapa meter ke depan. Di pinggir jalan jurang pun tertutup kabut sehingga tampak seolah tidak ada jurang di sana. Padahal saat kabut sedikit tersibak, saya bisa melihat jurang yang sangat terjal. Jam 7 pagi kamni tiba di Nam Phao, perbatasan Laos.

Saya dan beberapa turis bule tadi disuruh turun sendiri untuk cap paspor. begitu keluar, kami disergap kabut tebal disertai angin dan hujan rintik-rintik. Termometer yang dibawa salah satu turis argentina menyatakan saat itu suhu mencapai 9 derajat celcius.

Tiba di kantor imigrasi, keadaannya kacau sekali. Kernet bis serobot2an untuk bisa menyetorkan paspor penumpangnya. Ternyata untuk warga lokal, penyetoran paspor dilakukan oleh kernet bus. Sementara untuk orang asing dilakukan sendiri. Saat kami kebingungan melihat jubelan orang, tiba-tiba seseorang yang saya kenali sebagai kernet bus kami menghampiri dan meminta paspor kami. Setelah dikumpulkan, dia langsung merangsek maju ke kerumunan tersebut dan meletakkan paspor kami di depan petugas. Oh rupanya caranya gitu XD

Tidak lama kemudian saya menuju loket di sebelah untuk mengambil paspor saya dari petugas perempuan yang lebih bersahabat kebanding petugas pengecapan imigrasi di loket sebelah. Rupanya ada biaya yang disebut Exit Stamp sebesar USD 2. Saya heran juga waktu para bule itu bilang mereka gak tau kalau mereka harus bayar. Lah kan di berbagai situs traveling sudah dituliskan. Makanya saya sengaja siapin USD 1 sebanyak beberapa lembar.

Lepas dari keriuhan dan kekacauan di "gedung" imigrasi, kami berjalan kembali ke bis. Saya bahkan sudah tidak bisa bernapas saking kencang dan dinginnya angin. sampai di bis saya megap-megap cari napas. Saat salah seorang ibu di bis yang ramah (selalu tersenyum bila bertatapan dengan saya) memberi saya tissue dan menunjuk hidung saya, saya baru sadar saat itu saya mimisan. Saking dinginnya.

Tidak lama kemudian bis bergerak kembali. Perjuangan belum usai. Saya masih harus menempuh perbatasan Vietnam.

Bis berjalan kembali dengan perlahan sekitar satu kilometer menyeberangi no man's land. Kabut benar-benar semakin tebal. Jarak pandang saat itu mungkin hanya satu atau dua meter.

Tidak lama kemudian kami disuruh turun lagi. Perbatasan Vietnam.

Saya dan beberapa turis tadi masuk ke gedung imigrasi dan menyerahkan paspor kami ke Desk for Foreign Passport. Sambil menunggu paspor dicap, saya bertanya pada salah seorang petugas di mana letak toiletnya. Dia menunjuk ke satu arah.

Saat saya masuk ke toilet...

Toiletnya terdiri dari empat kotak tanpa pintu. Semua toilet berbentuk jongkok mempunyai satu saluran air terbuka. Yang artinya kita bisa tau apa yang dikeluarkan oleh penghuni toilet di bagian ujung bila kita di salah satu toilet di sebelahnya :| Mana baunya.....

Ya udah lah saya bodo amat lah. Daripada nanti di jalan kebelet dan gak tau kapan ketemu toilet lagi..

Pengecapan paspor tidak berlangsung lama. Dikenakan Entry Fee sebesar USD 1. Entah kenapa petugas bersikap lebih ramah kepada saya kebanding dengan turis2 lain yang perempuan juga sekalipun. Mungkin karena saya juga tidak menunjukkan sikap menentang dan sombong, yang sayangnya saya lihat dilakukan oleh sebagian besar turis-turis barat kepada penduduk lokal. You don't mess with immigration people.

Selesai cap paspor. Kami kami kembali menuju bis. Namun rupanya ada pemeriksaan barang sebelum bis bisa melewati perbatasan Vietnam. Kami disuruh membawa tas-tas kami dan menunggu bis di tempat terbuka, sementara para penduduk lokal diperbolehkan menunggu di gedung imigrasi.

Cuaca berkabut, hujan gerimis, angin kencang, suhu sekitar 9 derajat dan kami diminta menunggu di tempat terbuka. Saya memang pernah membaca cerita2 se"horor" ini di situs perjalanan. Tapi saya pikir, ah ini pasti bule-bule aja yang pada manja, bawaannya ngeluh melulu.

Tapi setidaknya untuk kasus ini, omongan mereka benar. Diskriminasinya kentara banget.

Sekitar dua jam saya dan turis2 asing ini menunggu. Hidung saya sudah mampet, gigi sudah bergemeretak, saya bahkan sudah tidak bisa merasakan jari jemari saya. Baru kemudian bis selesai diperiksa dan kami boleh naik kembali. Saya langsung menutupi seluruh tubuh saya dengan selimut. Jam sepuluh kami lepas dari perbatasan Vietnam. Dan masih sepuluh jam perjalanan lagi sebelum tiba di Hanoi.

Selama perjalanan saya bahkan sudah malas melihat ke luar. Pemandangannya sama aja kayak di Jawa. Sawah dan gunung. Malah kata saya sawah dan pegunungan di Jawa jauh lebih bagus dari pada di sini. Jam 1 siang kami berhenti di suatu tempat untuk makan siang. Tapi saya tidak napsu makan sama sekali. Akhirnya hanya mengobrol dengan turis2 dari Amerika tadi. Perjalanan dilanjutkan lagi jam setengah dua siang.

Kami memasuki Hanoi jam 8 malam. Terminal bisnya jauh di pinggir kota. Saat kami turun sudah diserbu oleh para pengemudi ojek dan taksi. Saya langsung memilih menyetop taksi Mailinh di luar terminal. Kata petugas hostel lebih baik pakai taksi itu, aman.

saat saya naik, pengemudi taksi tadi kelihatannya mengerti bahasa inggris. Tiba di hostel saya membayar dengan USD. Kalau dicurrencykan sekitar USD 8. saya berikan dia USD 10 kemudian saya minta kembalian dalam VND.

Rupanya pengemudi ini salah satu tipe scammer yang saya baca di internet. Giliran dimintai uang kembalian, belagak gak ngerti bahasa inggris.

Dalam posisi saya capek dan stres setelah perjalanan Vientiane-Hanoi, saya meledak emosi. Saya bilang, "YOU mister, will give me my money in Dong. Or I will scream from the top of my lung to gather everyone here. And we'll make a wonderful scene. How about that?"

saya ngomong dengan muka lempeng, tapi dari nada saya kayaknya ketauan kalau saya udah siap-siap muntab. Akhirnya sambil misuh2 dalam bahasanya sendiri dia memberikan saya kembalian VND 40.000. Kalau dirupiahkan sekitar Rp 20.000. saya keluar sambil banting pintu.

Masuk ke Backpackers' Hostel saya diberi kunci untuk loker di tempat tidur dan ditunjukkan lokasi kamar saya. Satu kamar terdiri dari delapan tempat tidur. Isinya malam ini hanya saya dan seorang pelancong muda dari Australia. Malam ini saya hanya ingin tidur dan istirahat. Capek. Banget.